Perkembangan
zaman yang begitu cepat seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta kebutuhan dunia kerja sesuai standar internasional membuat Pemerintah
harus bergerak cepat dalam mengantisipasi persaingan di segala sektor. Salah
satu aspek yang mendapat perhatian serius dari pemerintah yaitu aspek
Pendidikan. Maju atau tidak majunya suatu bangsa bergantung pada generasi yang
dihasilkan. Kualitas Pendidikan akan berpengaruh pada generasi yang dihasilkan.
Oleh karena itu, dengan berpegang teguh pada cita-cita bangsa Indonesia dalam
Pembukaan UUD 1945, maka Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, salah
satunya dengan melakukan pergantian kurikulum demi meningkatkan kualitas
Pendidikan kita.
Pada
prinsipnya, kurikulum yang telah dirancang oleh pemerintah akan dilaksanakan
pada satuan Pendidikan masing-masing. Maka boleh dikatakan bahwa yang menjadi
ujung tombak dalam pelaksanaannya adalah guru dan siswa. Sebelum kurikulum
Merdeka diberlakukan, pekerjaan seorang guru sebelum mengajar di kelas yaitu
dimulai dari perencanaan. Seorang guru harus mempersiapkan seluruh
admninistrasinya, hingga pada penyusunan silabus dan pembuatan rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP). Guru diharapkan mampu secara mandiri untuk
dapat menyusun silabus dan RPP, tidak ada referensi lain selain hanya mengikuti
kegiatan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) untuk mendapatkan materi terkait
silabus dan RPP dari narasumber. Sedangkan pada kegiatan pembelajaran di kelas,
guru sering mendominasi pembelajaran sehingga siswa hanya pasif ketika menerima
materi. Pada saat pembelajaran di kelas, guru juga melakukan pendekatan secara
menyeluruh kepada semua siswa, tidak berdasarkan kebutuhan atau kemampuan
siswa.
Pada
pembelajaran di kelas, siswa sering kali merasa bosan dan takut dalam menerima
materi karena guru yang terkesan menguasai kelas atau bisa disebut sebagai
diktator kelas. Hal ini membuat siswa tidak bisa menerima materi atau tidak
bisa mencapai tujuan pembelajaran pada hari itu. Sedangkan yang diinginkan
siswa adalah pembelajaran yang menyenangkan, yang bisa mengeksplorasi kemampuan
mereka sendiri, sehingga kompetensi yang mereka miliki tidak meningkat sesuai
harapan mereka. Hal lain yang dialami oleh siswa yaitu guru memberikan materi
dengan menganggap daya tangkap semua siswa adalah sama. Guru tidak
memperhatikan siswa sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing, sehingga ini
terkesan siswa yang mampu yang akan menerima materi dengan baik, sedangkan
siswa yang kurang mampu atau yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata akan
kesulitan menerima materi yang diberikan guru. Begitu pula dengan materi yang
mereka terima setiap semester, tidak berdasarkan tingkat kompetensi mereka.
Pada
bulan Februari 2022, Kemendikbudristek memperkenalkan kurikulum baru di
Indonesia yaitu “Kurikulum Merdeka belajar”. Langkah ini diambil karena untuk
mengatasi krisis pembelajaran yang begitu lama, ditambah lagi dengan pandemi
Covid-19 yang memutus rantai Pendidikan Indonesia pada Tahun 2019. Kurikulum
ini lahir dengan visi mengasah minat dan bakat anak sesuai konsep demi
penguatan kompetensi siswa. “Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan
pembelajaran intrakurikuler yang beragam, dimana konten akan lebih optimal agar
siswa lebih memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan
kompetensi. Karakteristik kurikulum Merdeka ini yaitu, pengembangan soft
skills dan karakter, fokus pada materi esensial, dan pembelajaran yang
fleksibel”[1]. Untuk pengembangan karakter, ada terdapat 6
dimensi yang diberikan pemerintah kepada sekolah untuk fokus terhadap keenam
dimensi tersebut. Dimensi yang dimaksud yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri, bergotong royong, bernalar kritis,
kreatif, serta berkebhinekaan global. Melalui Kurikulum ini juga sekolah
diberikan tiga pilihan tahapan yaitu mandiri belajar, mandiri berubah, dan
mandiri berbagi.
Oleh
karena itu, berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis mengenai
kurikulum Merdeka sejauh ini, dari pengalaman mengikuti berbagai kegiatan
pengenalan kurikulum Merdeka melalui webinar, kegiatan IHT, pelatihan mandiri
di Platform Merdeka mengajar, dan lain-lain. Penulis mendapatkan beberapa hal
terkait perbedaan kurikulum Merdeka dengan kurikulum sebelumnya. Pertama, guru
lebih leluasa dalam mencari referensi terkait bahan ajarnya, terkhususnya
melalui Platform Merdeka Mengajar, guru dapat mencari berbagai hal mengenai
berbagai hal terkait pengembangan kompetensi dan pembelajaran. Guru juga
diberikan keleluasaan dalam memanejemen administrasi perangkat ajarnya dengan
tidak harus menyusunnya sendiri, tapi boleh mengambil dan memodifikasi sesuai
kebutuhan lingkungan belajarnya. Sedangkan terkait pembelajaran di kelas, guru
diajarkan untuk memberikan kemerdekaan belajar kepada siswa dengan terkontrol.
Sehingga siswa dijadikan pusat pembelajaran, dimana siswa akan lebih aktif
dalam mengikuti pembelajaran. Tentu hal ini akan berdampak pada penguatan
kompetensi siswa, yang lebih menonjol yaitu perlakuan terhadap siswa yang
memiliki perbedaan kompetensi, guru harus melakukan asesmen awal untuk
mendiagnosa kemampuan siswa. Dari hasil diagnosa tersebut guru dapat melakukan
perlakuan yang berbeda ketika memberikan materi kepada siswa di dalam kelas,
sehingga hal ini dapat menjawab kebutuhan belajar siswa sesuai kompetensi yang
dimiliki oleh siswa. Sedangkan untuk penguatan karakter, atau yang disebut proyek
penguatan profil pelajar Pancasila, satuan Pendidikan diberikan beberapa
pilihan tema untuk disesuaikan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah,
sehingga penguatan karakter lebih tepat pada kondisi siswa dan lingkungan
belajarnya.
Berdasarkan
karakteristik yang dimiliki oleh kurikulum Merdeka ini, dapat dikatakan bahwa
guru dan siswa telah diberikan kemerdekaan dalam belajar mengajarnya. Sehingga
dengan semuanya itu, maka kita berharap kualitas Pendidikan di Indonesia dapat
bersaing dengan negara maju lainnya di dunia.